BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
A.
Hasil Penelitian Yang Relevan
Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembahasan sebuah
skripsi adalah pembahasan yang akan dilakukan oleh mahasiswa tersebut belum
pernah dibahas sebelumnya oleh mahasiswa lain, atau pembahasan yang akan
dibahasnya nanti punya perbedaan yang jelas dengan apa yang telah dibahas oleh
mahasiswa lainnya walaupun kedua-duanya meneliti dan mengkaji dalam sebuah
permasalahan yang sama. Karena apabila Skripsi yang ditulis sama seperti yang
telah ada, maka Skripsi tersebut akan dianggap hasil dari plagiat, tidak
orisinil. Oleh kerena itu, untuk menghindari terjadinya persamaan dalam
penulisan Skripsi, penulis kemudian memeriksa Skripsi-skripsi yang ada dalam
perpustakaan Tun Sri Lanang Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah Samalanga
Kab. Bireuen maupun di tempat-tempat yang lain, seperti Lembaga Bahtsul Masail
(LBM) MUDI Mesjid Raya Samalanga, internet dan lain sebagainya. Sejauh
pengamatan dan penelusuran penulis, setelah penulis periksa isi perpustakaan
dan lainnya, belum ada yang membahas secara khusus tentang masalah “Penyaluran
Zakat Untuk Kalangan Pelajarpesantrendalam
perspektif Fiqh syafi’iyyah (Studi Di Desa Pulo Lhok Kecamatan Ulim)” Sehingga tertarik keinginan dari penulis untuk membahasnya dalam
sebuah karya tulis ilmiah yang berbentuk Skripsi.
Namun, penulis akan menyebutkan disini beberapa karya tulis ilmiah
baik itu berbentuk skripsi, buku maupun kajian dalam penelitian ilmiah lainnya
yang telah lebih dahulu membahas tentang masalah talak, di antaranya:
1. SkripsiSkripsimahasiswaSyari'ahyaituskripsidarisaudariNadlirarussa'adah
(NIM. 2101141) lulus tahun 2006 yang berjudul "
2.
SkripsidarimahasiswaSyari'ahnamaNurAmaliyah (NIM
2199028) lulus tahun 2004 yang berjudul “
B.
Pengertian, Dalil dan Keutamaan Zakat
1.
Pengertian Zakat
Secara bahasa, zakat itu bermakna bertambah, suci, tumbuh, barakah.
Makna yang kurang lebih sama juga kita dapati bila membuka kamus bahasa Arab.
Sedangkan secara syara`, zakat itu bermakna bagian tertentu dari harta yang
dimiliki yang telah Allah SWT wajibkan untuk diberikan kepada mustahiqqin
(orang-orang yang berhak menerima zakat). Kata zakat di dalam Al-Quran
disebutkan 32 kali. 30 kali dengan makna zakat dan dua kali dengan konteks dan
makna yang bukan zakat. 8 dari 30 ayat itu turun di Mekkah dan sisanya yang 22
turun di Madinah. Sedangkan Imam An-Nawawi mengatakan bahwa istilah zakat
adalah istilah yang telah dikenal secara `urf oleh bangsa Arab jauh
sebelum masa Islam datang.[1]
Bahkan sering disebut-sebut dalam syi`ir-syi`ir Arab Jahili sebelumnya.
Sedangkan untuk istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga)
pengertian berikut ini :
1.
Shadaqah
dapat didefinisikan sebagai pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang
yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah,
tanpa disertai imbalan.
2.
Shadaqah
adalah identik dengan zakat Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab
dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat.
3.
Shadaqah adalah
sebutan bagi sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’).
Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW
bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah”
Dalam pengertian istilah syara’, menurut ulama Madzhab zakat mempunyai
banyak pemahaman, diantaranya:
1.
Madzhab Maliki, zakat adalah mengeluarkan sebagian yang tertentu
dari harta yang tertentu pula yang sudah mencapai nishab (batas jumlah yang
mewajibkan zakat) kepada orang yang berhak menerimanya, manakala kepemilikan
itu penuh dan sudah mencapai haul (setahun) selain barang tambang dan
pertanian.
2.
Madzhab Hanafi, zakat adalah menjadikan kadar tertentu dari harta
tertentu pula sebagai hak milik, yang sudah ditentukan oleh pembuat syari’at
senata-mata karena Allah SWT.
3.
Madzhab Syafi’i, zakat adalah nama untuk kadar yang dikeluarkan
dari harta atau benda dengan cara-cara tertentu.
4.
Madzhab Hambali, memberikan definisi zakat sebagai hak (kadar
tertentu) yang diwajibkan untuk dikeluarkan dari harta tertentu untuk golongan
yang tertentu dalam waktu tertentu pula.[2]
Dari beberapa pendapat diatas dapat dipahami bahwa zakat adalah
penyerahan atau penunaian hak yang wajib yang terdapat di dalam harta untuk
diberikan kepada orang-orang yang berhak.
2.
Dalil dan Keutamaan zakat
Zakat merupakan salah satu pilar dari pilar islam yang lima, Allah
SWT. telah mewajibkan bagi setiap muslim untuk mengeluarkannya sebagai penyuci
harta mereka, yaitu bagi mereka yang telah memiliki harta sampai nishab (batas
terendah wajibnya zakat) dan telah lewat atas kepemilikan harta tersebut masa
haul (satu tahun bagi harta simpanan dan niaga, atau telah tiba saat memanen
hasil pertanian).[3]
Banyak sekali dalil-dalil baik dari al-quran maupun as-sunnah
sahihah yang menjelaskan tentang keutamaan zakat, infaq dan shadaqah.
Sebagaimana firman Allah SWT :
1.
QS Al-baqarah Ayat 277
¨bÎ)úïÏ%©!$#(#qãZtB#uä(#qè=ÏJtãurÏM»ysÎ=»¢Á9$#(#qãB$s%r&urno4qn=¢Á9$#(#âqs?#uäurno4q2¨9$#óOßgs9öNèdãô_r&yZÏãöNÎgÎn/uwurì$öqyzöNÎgøn=tæwuröNèdcqçRtóstÇËÐÐÈ[4]
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang
yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah [2] : 277 ).
2.
QS Ar Ruum ayat 39
!$tBurOçF÷s?#uä`ÏiB$\/Íh(#uqç/÷zÏj9þÎûÉAºuqøBr&Ĩ$¨Z9$#xsù(#qç/ötyYÏã«!$#(!$tBurOçF÷s?#uä`ÏiB;o4qx.ycrßÌè?tmô_ur«!$#y7Í´¯»s9'ré'sùãNèdtbqàÿÏèôÒßJø9$#ÇÌÒÈ[5]
Artinya : “Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar Ruum [30] : 39)
3.
QS Al Baqarah ayat 274
úïÏ%©!$#cqà)ÏÿYãOßgs9ºuqøBr&È@ø©9$$Î/Í$yg¨Z9$#ur#vÅZpuÏRxtãuróOßgn=sùöNèdãô_r&yYÏãöNÎgÎn/uwurêöqyzóOÎgøn=tæwuröNèdcqçRtóstÇËÐÍÈ[6]
Artinya : “Orang-orang yang
menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan
terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah [2] : 274 ).
Banyak juga Hadits-hadist
nabi Yang menerangkan tentang Kewajiban zakat yaitu :
1.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar
Rasulullah bersabda :
بني
الاءسلا م على خمس شها دة ان لا اله الاالله و ان محمدا رسول الله اقا مة الصلاة و
ايتاء الز كاة و حج البيت و صوم رمضان [7]
Artinya: “Islam
itu ditegakkan atas lima pilar: syahadat yang menegaskan bahwa tiada tuhan
selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat,
menunaikan haji dan berpuasa pada bulan ramadhan” (HR Bukahari Muslim).
2.
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah
ما
من صاحب كنز لا يؤ دي ز كا ته الا احمي عليه في نارجهنم فيجعل صفا ئح فتكوى بها
جنبا وجبهته)الحد يثرواه احمد و مسلم([8]
Artinya :“Seseorang
yang menyimpan hartanya tidak dikeluarkan zakatnya akan dibakar dalam neraka
jahnnam baginya dibuatkan setrika dari api, kemudian disetrikakan ke lambung
dan dahinya (HR Ahmad dan
Muslim).
3.
Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dal buku Al Ausath dan As
Saghir dari Ali
ان
الله فرض على اغنياء المسا عين في اموا لهم بقد ر الذي يسع فقرا ئهم ولن يجهد
الفقراء اذا جا عوا او عروا الا بما يصنع اغنيا ئهم الا وان الله يحا سبهم حسابا
شديدا و يعذ بهمعذابااليما[9]
Artinya: “Allah
ta’ala mewajibkan zakat pada harta orang-orang kaya dari kaum muslimin sejumlah
yang dapat melapangi orang-orang miskin diantara merela fakir miskin itu
tiadalah akan menderita menghadapi kelaparan dan kesulitan sandang kecuali
karena perbuatan golongan dan kaya, ingatlah Allah akan mengadili mereka nanti
nanti secara tegas dan menyiksa mereka dengan pedih” (HR. Thabrani)
3.
Kriteria Harta yang Wajib di Zakatkan
Adapun kriteria harta kekayaan yang wajib dizakati adalah sebagai
berikut:
1.
Kepemelikan penuh (perfect title)
Maksudnya harta kekayaan tersebut sepenuhnya milik pribadi dan
tidak ada hubungannya dengan kepemilikan orang lain. Adapun harta yang tidak
sepenuhnya milih sendiri, di antaranya:
a.
Harta Haram (uang panas) Yaitu harta yang diperoleh dengan cara
ilegal, seperti hasil curian, penipuan, korupsi, riba, penyelewengan, perjudian
dan cara-cara lain yang tidak halal. Harta jenis ini secara esensial tidak
dimiliki oleh si pemiliknya, meski harta tersebut dalam genggamannya.
Harta/uang haram ini tidak wajib dizakati, namun harus dikembalikan pada
pemilik aslinya, atau diserahkan pada pemerintah jika memang pemiliknya tidak
ketahuan. Harta seperti ini tidak akan tetap haram baik disimpan sendiri atau
disedekahkan, karena Allah tidak menerima sedekah dari harta kotor.
b.
Harta wakaf (untuk kepentingan umum) Para ulama membedakan antara
wakaf kepentingan individu dan kepentingan umum. Harta yang diwakafkan
pemiliknya untuk kepentingan umum tidak wajib dizakati, sementara harta yang
disumbangkan pada satu pihak tertentu atau perseorangan sehingga publik tidak
bisa menikmatinya maka harta jenis ini wajib dizakati.
c.
Piutang, ada dua jenis piutang yaitu:
1)
Piutang aktif, yaitu piutang yang bisa diharapkan terbayar dan si
pemberi hutang bisa mengambilnya sewaktu-waktu. Piutang jenis ini harus
dizakati. Dimasukkan ke dalam keseluruhan harta kekayaan.
2)
Piutang pasif, yaitu piutang yang tidak mungkin atau sulit untuk
terbayar. Piutang passiva ini tidak wajib dikeluarkan zakatnya, akan tetapi
kita tetap berkewajiban membayarnya ketika kita memang benar-benar sudah
menerima pelunasannya, itupun, menurut pendapat mayoritas, hanya di tahun saat
kita menerima pelunasan tersebut. Misalnya piutang itu berada ditangan peminjam
selama 5 tahun, dan baru dikembalikan pada tahun ke-6, maka kita hanya
kewajiban mengeluarkan zakatnya untuk tahun ke-6 itu saja dan tidak wajib
mengeluarkan zakat untuk lima tahun sebelumnya.
Imam Malik (pendiri madzhab Malikiyah) mempunyai prinsip lain, baik
piutang aktif maupun pasif, keduanya sama-sama dizakati, dengan syarat
selunasnya piutang itu. Kewajiban zakat itu pun hanya setahun di tahun saat
menerima pelunasannya tersebut. Namun Imam Malik juga mensyaratkan satu hal,
sang pemilik piutang bukan kategori orang yang menolak pelunasan agar ia
terbebas dari wajib zakat. Jika demikian halnya, maka pemilik piutang yang
seperti ini terkena kwajiban membayar zakat tiap tahun selama piutang itu belum
lunas.[10]
Perlu diingat, piutang yang kita bahas di atas adalah benar-benar
uang piutang, maksudnya bukan piutang yang dikomersialkan. Jika piutang
tersebut berupa barang (yang dikomersialkan), maka pemilik piutang harus
membayar zakatnya setiap tahun dengan menggunakan uang yang ada dulu.
2.
Berkembang (Produktif)
Artinya bahwa harta tersebut bisa bertambah nilainya, baik pertambahannya
secara nyata diupayakan atau sebenarnya harta itu
berpotensi berkembang namun didiamkan oleh pemiliknya. Contoh harta yang mampu
mendatangkan pemasukan secara nyata bagi pemiliknya adalah seperti ternak,
barang dagangan, atau aset-aset tersebut berkembang sendiri seperti hasil bumi
dan buah-buahan, dll. Dan contoh jenis harta yang berpotensi berkembang adalah
seperi emas, harta simpanan, aksesori-aksesori mewah. Syarat
"berkembang" ini mempunyai dua arti penting dalam menentukan kategori
aset wajib zakat, yaitu:
1)
Untuk membedakan dari kekayaan yang mempunyai fungsi, walaupun itu
sifatnya individual. Seperti perhiasan yang dipakai, mobil pribadi, perabotan
rumah tangga, rumah pribadi, dll.
2)
Memasukkan semua jenis aset kekayaan yang mempunyai karakter berkembang
ke dalam kategori wajib zakat. [11]
3.
Mencapai Nisab
Apapun jenis aset yang kita miliki, kita tidak wajib menzakatinya
sampai aset tersebut mencapai Nisab. Nisab aset-aset ini berbeda satu sama
lain. Dalam proses audit nisab, disyaratkan harus sempurna setelah penotalan
anggaran kebutuhan pokok berupa sandang, papan, pangan, peralatan kerja, dll.
Maka nisab yang dianggap adalah nisab yang sudah terbebas dari biaya kebutuhan
pokok untuk pribadi dan keluarganya.
Contoh: Jika si A mempunyai aset Rp. 75 juta, sementara ia harus
melunasi hutang sebesar Rp. 7 juta dan untuk biaya kebutuhan pokok sebesar Rp.
15 juta. Maka aset wajib zakatnya adalah Rp. 53 juta. Adapun nisab harta kekayaan adalah senilai 85
gram emas murni (menurut harga pasar). Jika aset pokok yang telah dikurangi
anggaran kebutuhan pokok ini mencapai nisab maka harus dizakati. Jika kurang
dari nishab, tidak wajib.
4.
Kepemilikan selama setahun (menurut kalender hijriyyah)
Syarat wajib zakat yang terakhir adalah kepemilikan harta senilai
nisab selama 12 bulan, menurut hitungan hijriyah. Tempo haul (setahun) ini
dihitung sejak permulaan sempurnanya nisab dan tetap utuh sampai akhir tahun,
meski mungkin pada pertengahan tahun sempat berkurang. Jika pada akhir tahun,
jumlah tersebut berkurang dan tidak mencapai nisab lagi, maka si pemilik tidak
wajib menzakatinya.
Ketentuan kepemilikan nisab secara utuh hingga akhir tahun ini
dimaksudkan demi menghindari pengulangan dalam pembayaran zakat, sebagaimana
larangan Rasul, "Tidak ada pengulangan dalam sedekah". Ini berarti
bahwa tidak boleh misalnya jika kita mengeluarkan zakat untuk satu jenis aset
kekayaan wajib zakat, kemudian beberapa bulan selanjutnya mengeluarkan zakat
lagi.[12]
Ketentuan haul ini hanya berlaku untuk aset-aset yang berkembang
seperti komoditi komersial, ternak, simpanan, emas, perak, perhiasan dan
lain-lain. Sedangkan aset-aset lain seperti hasil bumi, buah-buahan, barang
tambang, dan kekayaan laut diambil zakatnya setelah sempurna perkembangannya
dan mencapai nisab.(Jadi tidak menganut ketentuan harus memiliki nisab selama
setahun). Begitu juga halnya al-mâl al-mustafâd, yaitu uang/kekayaan baru yang
dimiliki seseorang dan belum dizakati sebelumnya. Artinya harta baru ini bukan
dari produktifitas aset wajib zakat, namun sang pemilik mendapatkannya dari
jalan yang terpisah dari aset wajib zakatnya. Seperti upah kerja (non-gaji),
kompensasi, laba dadakan, dan hibah. Harta-harta jenis ini wajib dizakati
langsung saat mendapatkannya -kalau memang sudah mencapai nisab- tanpa harus
menunggu haul setahun.[13]
4.
Mustahik Zakat
Mustahik zakat atau orang yang berhak menerima zakat ada delapan
golongan yakni fakir, miskin, ‘amil, (petugas zakat), muallaf qulubuhum (orang
yang baru masuk islam), riqab, (orang yang telah memerdekakan budak), gharim
(orang yang berhutang), fi sabililah (orang yang yang berjihad di jalan Allah)
dan ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan).
Ketentuan ini tersebut dalam QS at-Taubah/9 ayat 60:
$yJ¯RÎ)àM»s%y¢Á9$#Ïä!#ts)àÿù=Ï9ÈûüÅ3»|¡yJø9$#urtû,Î#ÏJ»yèø9$#ur$pkön=tæÏpxÿ©9xsßJø9$#uröNåkæ5qè=è%ÎûurÉ>$s%Ìh9$#tûüÏBÌ»tóø9$#urÎûurÈ@Î6y«!$#Èûøó$#urÈ@Î6¡¡9$#(ZpÒÌsùÆÏiB«!$#3ª!$#uríOÎ=tæÒOÅ6ymÇÏÉÈ[14]
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui dan maha bijaksana” (QS. At-taubah [9] : 60 ).
Kalau dilihat dari sudut penerimaannya (mustahik), maka zakat
membebaskan manusia dari sesuatu yang menghinakan martabat mulia manusia, dan
merupakan kegiatan tolong-menolong yang sangat baik di dalam menghadapi
problema hidup dan perkembangan zaman. Adapun fungsi dan tujuan zakat bagi
penerimaanya antara lain:
1.
Zakat dapat membebaskan penerimanya dari kesulitan dan kekurangan,
sehingga dapat sedikit memenuhi kebutuhannya.
2.
Zakat menghilangkan sifat
dengki dan iri.
3.
Menumbuhkan semangat persaudataan, kebersamaan, persatuan, senasib
dan sepenanggungan.
4.
Menyempurnakan kemerdekaan hidup dan membangkitkan semangat pribadi
manusia dalam mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan.[15]
a.
Fakir
Biasanya fakir didefinisikan sebagai orang yang tidak mempunyai
apa-apa, tidak mempunyai penghasilan yang layak yang memenuhi kebutuhan makan,
pakaian, perumahan, dan kebutuhan primer lainnya, juga tidak bekerja alias
pengangguran.
Para ulama memiliki pendapat masing-masing tentang arti dari fakir.
Keempat ulama tersebut adalah Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki. Berikut adalah
pengertian fakir dari masing-masing Imam tersebut.
1.
Syafi’i: Fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha,
atau harta yang kurang dari seperdua kebutuhan atau kecukupannya, dan tidak ada
orang yang berkewajiban member belanjanya. Tidak ada orang yang mengurusnya.
2.
Hanafi: fakir ialah orang yang mempunyai harta kurang dari senishab
atau mempunyai senishab atau lebih, tetapi habis untuk memenuhi kebutuhannya.
3.
Hambali: faikir ialah orang yang tidak menpunyai harta, atau
mempunyai harta kurang dari seperdua kebutuhannya.
4.
Maliki: fakir ialah orang yang mempunyai harta, sedang hartanya
tidak mencukupi untuk keperluannya dalam masa satu tahun, atau orang yang
memiliki penghasilan tetapi tidak mencukupi kebetuhannya, maka diberi zakat sekedar
memenuhi kebutuhannya.[16]
b.
Miskin
Miskin adalah orang yang mempunyai harta, yang bisa memenuhi
kebutuhan hidup diri dan keluarganya tapi serba kekurangan.Pada umumnya zakat
yang diberikan kepada fakir dan miskin bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Ini kurang begitu membantu mereka untuk jangka panjang,
karena uang atau barang kebutuhan sehari-hari yang telah dibarikan akan segera
habis dan mereka akan kembali hidup dalam keadaan fakir atau miskin. Idealnya
zakat yang disalurkan kepada dua golongan ini dapat bersifat “produktif”, yaitu
untuk menambah atau sebagai modal usaha mereka.
Tujuan utama melaksanakan kewajiban kebaikan denganmemberikan
sebagian harta yang dimiliki kepada orang-orang miskin adalah untuk memperkuat
kesejateraan masyarakat. Kesejateraan yang dimaksut adalah menghilangkan
kesenjangan yang lebar antara kelompok kaya dan miskin sebagai cara untuk
mewujudkan keadilan social. Masalah kesenjangan antar kelas social menjadi
perhatian utama Islam karena ketimpangan distribusi materi sebagai penyebab
ketidakadilan di masyarakat. Dengan kata lain Islam sangat menentang
ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber materi.
c.
Amil
Amil atau pengurus zakat merupakan golongan ketiga yang disebutkan
oleh Allah Swt sebagai mustahik zakat. Zakat diberikan kepada para petugasnya
baik yang kaya maupun tang miskin. Karena zakat yang diberikan kepada mereka
bukan karena kemiskinan mereka, bukan karena ketidak mampuan mereka, tetapi
atas upah atau gaji atas kerja yang mereka lakukan dalam mengurus dan mengolah
zakat. Tegasnya amil juga berhak terhadap zakat.[17]
Wahbah Zuhaili lebih merinci pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh
Amil zakat dengan: Al-Hasyier, yaitu orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan
harta kekayaan dari pemiliknya. Al-Arief, adalah orang yang diberi tugas untuk
menghitung orang-orang yang berhak menerima zakat, jumlah orang yang memiliki
binatang ternak , tukang takar, tukang timbang dan penggembala. Setiap orang
yang terkait dengan zakat termasuk kategori amil, tidak boleh dari kalangan
qadli (Hakim) dan pengasa, sebab mereka tidak boleh mengambil dari baitul mall.
Yusuf Qardlawy menjelaskan ada empat peran Amilin (petugas zakat):
1.
Mengingatkan Muzakki untuk membayar zakat. Karena sikap naluriah
manusia adalah bakhil.
2.
Menjaga “Air Muka” atau perasaan para mustahiq. Karena melalui
perantaraan para amil, mereka (mustahiq) tidak perlu langsung bertemu dengan
para muzakki. Lebih dari itu, cara kerja amil yang proaktif mendatangi para
muzakki dan mustahiq, mereka yang kekurangan hidupnya namun tidak membiarkan
diri mereka meminta-minta dijalanan, akan mendapat perhatian secara
proporsional.
3.
Mengontrol agar mustahiq menerima pemberian zakat dari mana-mana.
Karena prioritas penditribusian zakat kepada para mustahik harus dilaksanakan
secara adil dan proporsional.
4.
Menentukan prioritas dan pendistribusian zakat yang produktif dan
konsuntif. Ini diharapkan dalam satuan waktu tertentu, mustahik dapat berubah
menjadi muzaki, dengan mengembangkan zakat yang diterimanya sebagai modal
usaha.[18]
d.
Mu’allaf
Muallaf adalah golongan yang baru masuk islam, yang keimannan dan
keislamannya masih lemah. Dengan diberikan zakat kepada kelompok ini,
diharapkan akan bertambah keimanan dan keislamannya, dan hati mereka semakin
kokoh dan mantap dalam islam.[19]
Muallafah qulubuhum sebagaimana yang tercantum dalam ayat al-Qur’an
menurut para ulama diperuntukkan untuk dua jenis orang, yaitu kafir dan muslim
dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.
Orang Kafir.
a)
Orang kafir yang diharapkan masuk Islam. Mereka diberi zakat untuk
mendorong mereka agar masuk Islam sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw
kepada Sofwan bin Umayyah pada saat ia masih kafir.
b)
Orang yang dikhawatirkan kejelekan atau kejahatannya dengan harapan
pemberian zakat tersebut menghentikan kejahatannya.
2.
Orang Islam
a)
Golongan yang baru masuk islam. Zakat diberikan kepada mereka dalam
rangka memperkuat dan menambah keyakinan mereka terhadap Islam.
b)
Orang islam yang lemah imannya yang dikawatirkan akan menjadi
murtad.
c)
Pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah memeluk islam yang masih
mempunyai sahabat-sahabat orang kafir. Dengan member mereka zakat, dapat
menarik simpati dari sahabat-sahabatnya yang masih kafir untuk memeluk islam.
e.
Riqab
Riqab adalah termasuk dari salah satu mustahik atau golongan yang
berhak menerima zakat. Riqab ialah pembebasan budak dan menghilangkan segala
bentuk perbudakan. Secara harfiah golongan ini diartikan orang-orang yang
bersetatus buda, termasuk dalam pengertian ini tebusan yang diperlukan untuk
membebaskan orang islam yang ditawan oleh orang-orang kafir.
Pemberian zakat kepada budak sebagai tebusan yang akan diberikan
kepada tuannya sebagai syarat pembebasan dirinya dari perbudakan merupakan
salah satu cara islam untuk menghapuskan perbudakan dimuka bumi.[20]
Menurut pendapat para ulama, bahwa cara membebaskan perbudakan ini
biasanya dilakukan dengan dua cara:
1.
Perbudakan diri hamba mukatab, yaitu budak yang telah membuat
kesepakatan dan perjanjian dengan tuannya, bahwa ia sanggup membayar sejumlah
harta untuk membebaskan dirinya.
2.
Uang zakat yang terkumpul dari para muzakki, dengan uang zakat itu
kemudian dipakai untuk membeli dan membebaskan para budak.
Ada sebagian masyarakat yang salah presepsi tentang golongan ini
dalam konteks kontenporer. Mereka menganggap bahwa tenaga kerja (TKI) berhak
untuk mendapat zakat dengan dianalogikan kepada golongan ini. Sebenarnya jika
TKI dianggap tidak mampu dari segi keuangan sedangkan dia sendiri memiliki
kebutuhan yang harus dipenuhi, maka ia diberikan zakat atas nama golongan fakir
miskin dan bukan golongan dari riqab.[21]
f.
Gharimin
Yang dimaksut dengan gharimin ialah mereka yang mempunyai hutang
untuk kemaslahatan dirinya sendiri dalam melaksanakan ketaatan dan kebaikan
atau kemaslahatan masyarakat. Misalnya hutang yang digunakan untuk mendamaikan
sebuah persengketaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat atau
menjamin/menutupi hutang yang dimiliki orang lain sehingga akibat dari hal
tersebut bisa menghabiskan atau mengurangi hartanya.
Dalam memberikan batasan apa yang dimaksut dengan gharimin (bentuk
jama’ dari gharim), tidak terlepas dari pandangan di kalangan ulama. Menurut
abu hanifah, gharim adalah orang yang mempunyai hutang, dan dia tidak memiliki
bagian yang lebih dari hutangnya. Menurut Imam Malik, , Syafi’I dan Ahmad,
bahwa orang yang mempunyai hutang terbagi ke dalam dua golongan. Pertama, orang
yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan dirinya dan keluarganya. Kemaslahatan
ini adalah kemaslahatan yang digunakan untuk kebutuhan pokok bagi dirinya dan
keluarganya, seperti kebutuhan makan, kebutuhan akan pakaian, untuk pengobatan,
pendidikan dan kebutuhan pokok lainnya. Kedua, orang yang berhutang untuk
kemaslahatan umum. Contohnya orang yang mendamaikan dua pihak yang bersengketa,
tetapi membutuhkan dana yang lumayan besar, sehingga ia harus berhutang.
Bagian untuk gharimin dan riqab pada saat ini dapat diberikan
bantuan dana berupa dana zakat untuk pedagang kecil, yang biasanya mendapatkan
modal dari pelepas uang dengan bunga yang tinggi, sehingga sulit bagi mereka
untuk melunasi hutangnya. Pedagang kecil seperti pedagang asongan seringkali
terbelenggu dan tidak bisa melepaskan diri dari praktek rentenir.[22]
g.
Sabilillah
Sabililah ialah usaha dan kegiatan perorangan atau badan yang
bertujuan untuk menegakan syari’ar islam dan kepentingan agama atau
kemaslahatan umat.
Para ulama, termasuk ulama kontenporer berbeda pendapat tentang
batasan fisabililah. Sebagian ada yang mempersempit, dan sebagian lagi
memperluas pengertian tersebut. Pendapat yang memperluas menyatakan bahwa
segala perbuatan amal saleh yang dilakukan secara ikhlas dalam rangka
pengabdian kepada Allah, baik yang bersifat pribadi maupun kemasyarakatan,
termasuk kedalam kerangka fisabililah. Adapun pendapat yang mempersempit
menyatakan bahwa yang dimaksut dengan fisabililah disini adalah khusus untuk
jihad.
Dari sini jelas bahwa sabililah tidak hanya berarti kegiatan
militer, tetapi termasuk juga berbagai macam kegiatan lainnya, seperti:
a.
Pendanaan kegiatan kemiliteran yang berusaha menaikan martabat
Islam, menantang serangan terhadap islam dan kaum muslimin di berbagai tempat,
seperti di palestina, afganistan dan Filipina.
b.
Membantu kegiatan, baik pribadi atau kelompok yang bertujuan
mengembalikan kekuasaan terhadap pihak islam, melaksanakan ketentuan hokum
islam dinegara-negara islam, menantang semua gerak langah musuh-musuh islam
yang bertujuan mengikis kaidah islam dan menyingkirkan hokum islam dari
peraturan kenegaraan.
c.
Memberikan suntikan dana kepada
pusat dakwah islam yang dikelolah oleh tenaga-tenaga sukarelawan yang
jujur di Negara-negara non-islam yang dijadikan sebagai pusat dakwah.
d.
Memberikan suntikan dana terhadap kegiatan-kegiatan yang bekerja
serius untuk melanggengkan islam di kalangan minoritas muslim di Negara-negara
yang kaum musliminnya mendapat tekanan dari warga non muslim yang bertujuan
membersikan Negara-negara mereka dari kaum muslimin yang masih tertinggal.[23]
h.
Ibnusabil
Ibnusabil ialah orang yang berpergian tidak untuk bermaksiat,
tetapi demi kemaslahatan umum dan kehabisan bekal di perjalanan. Perjalanan di
sini adalah perjalanan yang mempunyai nilai ibadah. Perjalanan yang mempunyai
nilai ibadah misalnya orang yang menuntut ilmu di daerah lain, atau orang yang
melakukan dakwah disuatu daerah, atau orang yang mencari kerja di Negara
lainuntuk menafkahi keluarganya, kemudian apabila mereka terputus bekalnya dan
mereka membutuhkan harta atau dana untuk sekedar mencukupi kebutuhan mereka,
maka kepada mereka boleh diberi zakat.
Di samping itu porsi zakat untuk golongan ini dapat diberikan
sebagai berikut:
1.
Biaya atau dana yang diberikan untuk pengiriman mahasiswa
melanjutkan pendidikannya.
2.
Membiayai ekspedisi ilmiah.
3.
Mengirimkan utusan ke suatu seminar atau konperensi yang membahas
tentang peningkatan kehidupan beragama di tengah masyarakat.
4.
Penyediaan asrama murah untuk pelajar.[24]
5.
Tujuan Zakat
Dalam hubungan ini Zakat mempunyai tujuan tertentu yaitu :
1.
Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari
kesulitan hidup dan penderitaan yang menimpanya.
2.
Membantu menyelesaikan masalah hidup yang di hadapi oleh Gharimin
dan ibnu sabil dan Mustahik lainnya.
3.
Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat islam dan
manusia pada umumnya.
4.
Memnghilangkan sifat kikir dan tamak bagi pemilik harta.
5.
Membersihkan sifat iri dan dengki serta kecemburuan sosial dari
hati orang miskin.
6.
Menjembatani jurang pemisah antara yang miskin dan kaya dalam
artian sama dan tidak ada perbedaan.
7.
Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang
terutama yang mempunyai harta.
8.
Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan
menyerahkan hak orang lain yang ada padanya.
9.
Sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial.
Dari harta kekayaan orang mukmin baik
yang tertentu maupun tidak, sebagai kewajiban ataupun suka rela, guna
membersihkan mereka dari penyakit kikir
dan serakah , sifat-sifat merendahkan dan kejam terhadap fakir miskin,
juga untuk menyucikan jiwa mereka, menumbuhkan dan mengangkat derajatnyadengan
berkah dan kewajiban, baik dari segi moral dan amal, hingga dengan demikian ia
akan layak mendapatkan kebahagiaan baik didunia maupun di akhirat.
Firman Allah
SWT dalam QS At-taubah.
õè{ô`ÏBöNÏlÎ;ºuqøBr&Zps%y|¹öNèdãÎdgsÜè?NÍkÏj.tè?ur$pkÍ5Èe@|¹uröNÎgøn=tæ(¨bÎ)y7s?4qn=|¹Ö`s3yöNçl°;3ª!$#urììÏJyíOÎ=tæÇÊÉÌÈ[25]
Artinya:
ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.(QS, At-taubah
[9] : 102).
Merupakan dari
sifat kemuliaan, suka berbuat baik dengan berbakti kepada Allah SWT dan
memberikan zakat kepada fakir miskin desebabkan rasa sayang dan belas kasih
serta santun santun kepada mereka.
6.
Hikmah zakat
Zakat sebagai lembaga dalam islam mengandung hikmah yang bersifat rohaniyah
dan filosofis, hikmah itu digambarkan dalam ayat Al-Quran surah
Al-baqarah ayat 261
ã@sW¨BtûïÏ%©!$#tbqà)ÏÿZãóOßgs9ºuqøBr&ÎûÈ@Î6y«!$#È@sVyJx.>p¬6ymôMtFu;/Rr&yìö7y@Î/$uZyÎûÈe@ä.7's#ç7/Yßèps($ÏiB7p¬6ym3ª!$#urß#Ïè»Òã`yJÏ9âä!$t±o3ª!$#urììźuríOÎ=tæÇËÏÊÈ[26]
Artinya:
perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya)
lagi Maha mengetahui. (QS.
Al-baqarah [2]: 60)
Perumpaan diatas jelas oleh allah
SWT. melipat-gandakan bagi orang yang mengeluarkan (zakat) hartanya dijalan
Allah SWT. Dengan suatu tuntutan mengharap ridha-Nya, sesungguhnya satu
kebaikan dilipat gandakan dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kebaikan,
firman Allah SWT. Dalam Al-quran:
$ygr'¯»ttûïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä(#qà)ÏÿRr&`ÏBÏM»t6ÍhsÛ$tBóOçFö;|¡2!$£JÏBur$oYô_t÷zr&Nä3s9z`ÏiBÇÚöF{$#(wur(#qßJ£Jus?y]Î7yø9$#çm÷ZÏBtbqà)ÏÿYè?NçGó¡s9urÏmÉÏ{$t«Î/HwÎ)br&(#qàÒÏJøóè?ÏmÏù4(#þqßJn=ôã$#ur¨br&©!$#;ÓÍ_xîîÏJymÇËÏÐÈ[27]
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji. (QS.
Al-baqarah [2] : 267).
[1] Moh. Rowi
Latief & A. Shomad Robith, Tuntunan Zakat Praktis,... h.13
[2] Dr. H.
Amiruddin Inoed, dkk, Anatomi Fiqh Zakat (Potret & Pemahaman Badan Amil
Zakat Sumatera Selatan), (Sumatera Selatan: Pustaka Pelajar, 2005), h. 9
[3] Lahmanudin
Nasution, Fiqih 1, (Bandung: Jaya Baru, 1998) h: 145
[4] Departemen
Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya... , h. 47
[5] Departemen
Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya... , h. 408
[6] Departemen
Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya... , h. 46
[7] Sari, Elsi
Kartika.. Pengantar hukum Zakat & wakaf. Jakarta: Penerbit PT Grasindo,
2007). (online), (http://www.google.books. Diakses 11 mei 2016 pukul 13.00
WIB).
[8] Yusuf ,
Mohammad Asror .. Kaya karena ALLAH. (Tangeran: Penerbit PT Kawan Pustaka, 2004).
H. 67
[10]Rasjid,
Sulaiman.. Hukum Fiqh Islam. Bandung (Penerbit : Sinar Baru Algensindo 2011). H 89
[11] Rasjid,
Sulaiman. Fiqh Islam : (Penerbit Sinar Baru Algensindo 2011).. h. 56
[12] Dr. H.
Amiruddin Inoed, dkk, (Potret & Pemahaman Badan Amil Zakat Sumatera
Selatan) ...h. 45
[13]M.Ali Hasan, Zakat
dan infaq,Satu solusi mengatasi Problema sosial di Indonesia,,(Jakarta:
kencana,2006)... h. 88
[14] Departemen
Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya... , h.196
[15] Abdul
Hamid,Fikih zakat, ...., h.69
[16] Abdul
Hamid,Fikih zakat, ...., h.70
[17] Abdul
Hamid,Fikih zakat, ...., h.76
[18] Abdul
Hamid,Fikih zakat, ...., h.78
[19] Abdul
Hamid,Fikih zakat, ...., h. 94
[20] Lahmanudin
Nasution, ...h. 67
[21] Al-Jaziri
Abdurrahman, Fiqh Empat Madzhab, Jakarta: Darul Ulum Press,2002 .. H. 68
[22] Lahmanudin
Nasution,....H. 45
[23] Abdul
Hamid,Fikih zakat, ...., h. 75
[24] Saleh Al
Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), ..H. 78
[25] Departemen
Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya... , h. 98
[26] Departemen
Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya... , h.
[27] Departemen
Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya... , h.
EmoticonEmoticon